Penyaluran KUR bagi Petani
Penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) sampai saat ini belum memenuhi sasaran, khususnya bagi sektor pertanian. Padahal sektor ini tergolong vital dalam struktur perekonomian Indonesia. Sektor ini potensial mendapat pendanaan kredit guna pemberdayaan petani maupun dalam rangka peningkatan produk pertanian terutama tanaman pangan. Kenapa mesti sektor pertanian yang digiatkan?
Tentu saja karena sektor ini merupakan sektor yang memiliki jumlah tenaga kerja cukup besar, yakni 42,76% dari seluruh struktur tenaga kerja yang ada di Indonesia. Di samping itu, struktur tenaga kerja di sektor ini juga mempunyai komposisi penduduk miskin yang paling tinggi.
Perkembangan penyaluran KUR bila dilihat dari jumlah debitur totalnya sebesar 4.802.074 orang (data akhir semester pertama 2011). Khusus sektor pertanian perburuan dan kehutanan hanya sebesar 634.489 orang atau hanya 13%. Dilihat dari nilai outstanding dana yang tersalur juga didominasi sektor perdagangan sebesar Rp 14,86 triliun atau 60%. Sedangkan sektor pertanian dan kehutanan hanya Rp 4,62 triliun atau 18%.
Dukungan sektor perbankan dan program pemerintah terkait penyaluran KUR ini tentu saja diperlukan guna meningkatkan produktivitas hasil pertanian dan peningkatan kesejahteraan petani, di samping dalam rangka swasembada pangan terutama beras. Namun, saat ini masih perlu dilakukan evaluasi, khususnya terkait penyaluran KUR ke sektor pertanian, baik peningkatan plafon KUR maupun upaya-upaya nyata yang harus dilakukan intermediator, dalam hal ini 6 bank yang ditunjuk untuk menyalurkan KUR. Termasuk dukungan 2 penjamin, baik PT Askrindo dan Perum Jamkrindo, kemudian regulator baik instansi teknis seperti Kementrian Pertanian dan Kehutanan maupun Dinas Pertanian yang ada di daerah.
Mengapa penyaluran KUR khususnya di sektor pertanian belum maksimal? Salah satu penyebabnya, antara lain sosialisasi KUR kepada petani belum optimal. Di beberapa daerah, program penyaluran KUR belum sepenuhnya memenuhi sasaran karena petani atau kelompok tani tidak mengetahui adanya skim ini. Demikian juga di sisi lain Pemda-Pemda setempat tidak sepenuhnya mendukung program ini. Pada kenyataannya program KUR di beberapa daerah sentra padi pun belum sepenuhnya dimanfaatkan oleh petani.
Sebenarnya KUR merupakan kredit yang diberikan oleh bank kepada UMKM sebagai modal kerja dan investasi untuk usaha produktif yang feasible namun belum bankable yang didukung fasilitas penjaminan. Bank yang ditunjuk untuk melaksanakan program KUR wajib menyediakan dana KUR dan menyalurkan kepada debitur UMKM. KUR yang disalurkan akan dijamin oleh 2 asuransi penjaminan, yaitu Askrindo dan Perum Jamkrindo apabila terdapat debitur yang gagal bayar. Perusahaan penjaminan menanggung klaim sebesar 70% (kecuali untuk sektor tertentu seperti sektor pertanian sebesar 80%). Sedangkan sisanya ditanggung oleh bank pelaksana.
Selain kurangnya sosialisasi dari pihak perbankan maupun dinas kepada petani, jangkauan atau akses petani terhadap dunia perbankan masih belum familier. Ada anggapan sebagian petani bahwa KUR adalah sama seperti Kredit Usaha Tani (KUT) pada masa Orde Baru yang diberikan 'cuma-cuma' oleh pemerintah, sehingga petani tidak terpacu untuk mengembalikan kreditnya. Satu masalah lagi, sering ditemui di lapangan ternyata banyak petani yang mengeluhkan masalah tanggung renteng, karena anggota yang tidak bisa membayar.
Permasalahan lainnya, masih banyak program dan skim pendanaan ke sektor pertanian tumpang tindih, seperti KUR, Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE), Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP), PNPM Mandiri dan lain-lain. Walaupun persyaratan KUR tidak menggunakan agunan, namun tidak berarti kemudian tidak terjadi masalah. Yang sering menjadi kendala justru pengumpulan SPT PBB yang membutuhkan waktu bagi anggota dalam suatu kelompok tani sebagai pengajuan KUR ke bank.
Kenyataan di lapangan, hal pertama yang paling direspon terkait kredit bagi para petani adalah harapannya akan bunga murah. Beberapa survey memperlihatkan hal tersebut, mereka beralasan bahwa bunga KUR saat ini masih cukup tinggi sekitar 14% per tahun. Mereka membandingkan skim kredit KKPE yang bunganya disubsidi oleh pemerintah 4% dari 12% per tahun sehingga petani hanya membayar bunga 8%. Dan, di beberapa daerah, KKPE diminati petani.
Yang lebih memprihatinkan, kredit dari bank ternyata oleh petani banyak dialokasikan untuk modal kerja berupa pembelian mesin pompa air dan pembelian solar/bensin guna mengairi sawahnya, yang merupakan biaya tambahan baru bagi petani. Padahal, terkait infrastruktur pengairan merupakan tanggung jawab pemerintah dengan pembuatan saluran irigasi, waduk, embung, situ, bendungan dan lain-lain. Demikian juga ketersediaan bibit unggul dan pupuk di sisi lain.
Semestinya di era reformasi ini, pemerintah memperbanyak pembangunan waduk atau bendungan untuk kepentingan irigasi. Ini sangat ironis. Justru petani sendiri secara inisiatif dan terpaksa melakukan pengairan secara swamandiri yang menguras kocek tambahan petani. Ke depan semestinya pemerintah termasuk Pemda mengupayakan revitalisasi infrastruktur irigasi sebagai bentuk kepedulian terhadap nasib petani.
Kenyataan lain, ternyata sampai saat ini pun, sebagian petani masih merindukan adanya penyuluh pertanian lapangan (PPL) sebagai mitra yang dapat berguna mengkomunikasikan berbagai program pemerintah seperti KUR tadi. Namun kenyataannya para PPL, belakangan banyak berkurang dan banyak ditarik sebagai tenaga administratif di Pemda-Pemda.
Selain itu, ke depan sebagai dukungan pada petani, diperlukan adanya lumbung padi di daerah untuk mengantisipasi kelangkaan beras. Demikian juga kembali mengupayakan swasembada pangan dan melakukan pembatasan impor beras. Hal inilah yang mendorong petani agar memanfaatkan KUR sebagai solusi pendanaan dan pendampingan pencapaian swasembada pangan nasional.
0 komentar:
Posting Komentar